Bubur India Masjid Pekojan Semarang, Tradisi Takjil Saudagar Gujarat Bertahan 2,5 Abad

0 320

SEMARANG, generasipiknik.com  – Kepulan asap dan uap dari tungku besar lumayan pekat menghiasi wajah Ali Baharun (61), tangan tuanya terlihat masih cekatan mengaduk adonan sekitar 30 kilo beras yang setara denga 350 porsi bubur yang hampir jadi.

Di belakang Masjid Pekojan yang ada di Kelurahan Purwodinatan Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang itu, dia harus mengaduk adonan bubur secara teratur dan merata, agar tingkat kecairannya sama, berkejar waktu antara nyala api dari kayu serta waktu yang mendekati berbuka puasa.

Lelaki tua itu bernama Ali Baharun, adalah sang peracik bubur India, meneruskan tradisi moyangnya suku Koja dari Gujarat India saat pertama masuk ke Semarang. Yaitu tradisi membuat bubur India sebagai menu takjil berbuka puasa di Masjid Pekojan Semarang, yang sudah turun temurun sejak 2,5 abad yang lalu.

“Masaknya harus pakai kayu bakar karena tingkat kematangan lebih merata dan citarasanya tidak cepat hilang,” kata Ali Baharun, Sabtu (18/5/2019).

Sembari mengaduk adonan bubur, Ali bercerita, jika bubur India dikenalkan para saudagar Koja yang singgah di Semarang melalui jalur perdagangan. Koja merupakan salah satu suku di Gujarat India yang berdarah pedagang dan petualang. Mereka juga syiar agama Islam di Semarang.

Lalu mereka membuat koloni perkampungan di pusat bisnis Kota Semarang, yang sekarang dinamai Kampung Pekojan, ada di Jalan Petolongan Nomor 1 Semarang.

Komplek Pekojan juga bersebelahan dengan perkampungan bisnis lainnya seperti Pecinan (China), Kauman dan Bustaman (Arab), dan Kawasan Kota Lama (Belanda).

Dahulu, menjelang buka puasa, kata Ali, para pedagang akan berbuka puasa dan salat Magrib di Masjid Pekojan, mereka membawa bekal makan sendiri. Seiring berkembangnya kawasan ini, jamaah salat Maghrib dan berbuka puasa makin bertambah. Tak hanya etnis Koja, ada juga dari Jawa, Cina, Arab yang ikut singgah beribadah.

“Para saudagar berinisiatif mengumpulkan bekal untuk menjadi satu santapan bersama menjelang berbuka puasa. Jadilah membuat bubur, sesuai tradisi mereka di tanah asalnya,” jelas Ali.

Di Ramadan tahun ini, setiap harinya Ali membuat bubur India, dari pukul 14.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Dia harus menyediakan sekitar 20-30 kg beras. Cara memasaknya seperti membuat bubur biasanya. Hanya saja ada tambahan rempah-rempah.

Bubur India ini sedikit berbeda dari bubur biasanya, teksturnya lebih encer namun kaya akan rempah-rempah. Ada kayu manis, jahe, laos, serai dan ditambah potongan sayuran seperti seledri dan wortel.

“Bumbu rempah ini dibawa saat para saudagar dan pedagang Koja berdagang di Semarang. Dicampur dengan bubur agar rasanya lebih hangat dan menyehatkan saat berbuka puasa,” beber Ali, yang merupakan genarasi ke empat keturunan Koja.

Setelah bubur matang, cara penyajiannya pun unik. Ada sekitar 200-300 mangkuk plastik berwarna-warni diisi dengan bubur India. Lalu ditambah dengan kuliner khas Kampung Bustaman yakni Gulai Bustaman.

Warga sekitar juga banyak yang minta untuk dibawa pulang sebelum dibagi kedalam mangkuk-mangkuk.

“Hari ini bubur India diberi tambahan gulai Bustaman, besoknya bisa ganti opor, sambal goreng, dan lainnya,” katanya.

Mangkuk-mangkuk plastik itu ditata sejajar di serambi Masjid Pekojan. Bersanding dengan gelas warna-warni pula berisi susu, ada juga tambahan takjil berupa buah kurma.

Menjelang waktu berbuka, para jamaah, warga sekitar, para musafir dan kaum dhuafa, akan berkumpul menjadi satu. Saling menghadap pada mangkuk bubur yang telah ditata itu.

“Setiap Ramadan sesekali mampir masjid Pekojan, ikut buka puasa takjil bubur. Saya menyebutnya bubur Koja atau bubur India, rasanya beda ada rempah-rempahnya. Hangat, halus, dan cocok bagi lambung dimakan saat berbuka puasa,” kata Prasetya, salah satu warga yang siap menyantap bubur India. (win)

Leave A Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.