Mengenang Legenda Gubernuran, Mbah Bandiyem ‘Sang Pelayan’ Delapan Gubernur Jateng
SEMARANG, generasipiknik.com – Sosok sepuh nan semangat dari seorang Mbah Pandiyem kini tak terlihat lagi di lorong-lorong Gedung Berlian Komplek Gubernuran Jawa Tengah.
Sapa keramahannya pada tiap ASN Pemprov Jateng atau warga yang melintas didekatnya pun kini juga tak lagi ikut terdengar.
Mbah Pandiyem, atau lebih akrab dipanggil Mbah Bandiyem, kini tinggal menyisakan kenangan manis. Nenek dengan pakaian khas kebaya dengan keranjang bakulan itu telah berpulang kepada Sang Khalik, pada Sabtu (16/6/2019), di usia sekira 72 tahun.
Semua penghuni Gedung Berlian tampak berduka, mulai dari Ruang Tata Usaha Gubernuran, para Kepala Biro, sampai merembet pada para awak jurnalis yang ruangannya kerap disambangi Mbah Bandiyem.
Sosok Mbah Bandiyem, wanita kelahiran tahun 1933 ini bukan siapa-siapa, warga biasa tanpa jabatan, bukan pula kerabat para pejabat tinggi di lingkungan Pemprov Jateng.
Hanya saja dia orang istimewa, bisa dibilang pula sang legenda, musabab Mbah Bandiyem telah ada berjualan sejak era delapan Gubernur Jateng menjabat. Menjadi bagian saksi 64 tahun dengan bakulnya saat tiap gubenur mencicipi pisang godok yang ditawarkannya.
Rutinitas Mbah Bandiyem sendiri setiap hari akan menghampiri tiap ruang yang ada di dua gedung kembar Gubernuran, Gedung A atau Gedung DPRD Jateng dan Gedung B atau Kantor Gubernur Jateng.
Saking lamanya sebagai ‘penghuni’ Gubernuran, semua sekat protokoler sekuriti maupun perizinan memasuki ruang-ruang terbatas itu menjadi hak preogratifnya. Tak ada yang melarang atau menghalangi.
Sebuah akses tanpa batas, saat para sales promotion maupun tamu berkunjung harus mematuhi aturan tertempel pada tiap pintu kaca ruangan ‘Dilarang Masuk / Harus Dengan Izin’, Mbah Bandiyem dengan langkah sahajanya akan dengan mudah memasukinya. Bahkan untuk sampai menuju ruang gubernur bukan perkara sulit.
Tak jarang pula Mbah Bandiyem menjadi ‘penghuni terakhir’ Gubernuran, tatkala para ASN dan pejabat Pemprov selesai dari rutinitas dinasnya. Mbah Bandiyem akan setia merampungkan ‘dinasnya’ dengan pisang godoknya, kebiasaannya tangga ruang gubernur akan menjadi targetnya.
“Beliau itu biasanya kalau sore nyegat Pak Gub di tangga Ruang Gubernur, nawarin pisang godok ke Pak Gubernur saat turun tangga,” kata Anton Sudibyo, Protokoler Gubernur Jateng, Senin (17/6/2019).
Menurut Anton, dari cerita setiap orang jika kebiasaan Mbah Bandiyem memang akan menawarkan pisang godoknya kepada tiap gubenur yang menjabat sejak era delapan Gubernur Jateng.
Sementara, Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Jateng, Sinung Nugroho Rahmadi, memiliki kenangan mendalam sosok Mbah Bandiyem. Dia memanggil Mbah Bandiyem dengan Mak Bandiyem.
“Mak Bandiyem, reflek seperti kebiasaan saya masih SD sudah kenal Mak Bandiyem ketika sering ikut kegiatan orang tua di Kantor Gubernur Jateng waktu itu,” katanya.
Sosok Mbah Bandiyem di mata Sinung adalah orang yang lugas sering mendoakan orang lain, termasuk dirinya saat masih menjabat Kasubag Biro Bangda dan Kepala Biro Humas Jateng.
“Yen nyambut gawe niku ampun nggaya-nggaya pokoke sing penting rampung, nggih mas..”, begitu nasehat yang dikenang Sinung.
Berita wafatnya Mbah Bandiyem lewat sosmed dan group WA, membuat dirinya dan semua mantan personil Biro Humas kaget.
“Semua kenal Mak Bandiyem, kalau ada yang gak tahu beliau, orang itu perlu di check pergaulannya mas, Semoga swargi Mak Bandiyem Husnul Khotimah,” tuturnya.
Agus Joyo, seorang jurnalis di lingkungan Pemprov Jateng pun menaruh hormat pada sang legenda, akses tanpa batas seorang Mbah Bandiyem pernah dia lihat secara langsung.
“Saat halal bihalal tahun lalu, Mbah Bandiyem ikut nyempil (menyelinap) dibarisan para ASN, ikut antri bersalaman dengan Gubernur Jateng dan jajaran ASN,” kata Agus.
Menurut Agus, saat itu Mbah Bandiyem mengaku kangen dengan Ganjar Pranowo, terlihat dari obrolan antara Mbah Bandiyem dengan Ganjar saat bersalaman langsung.
“Sudah di sini (jualan) delapan gubernur, sejak tahun 1955, zamannya Pak Beno, Pak Mochtar, Pak Moenadi, Pak Ismail, setelah itu Pak Supardjo, Pak Mardiyanto, Pak Bibit, terus Pak Ganjar,” kata Agus, meniru ucaoan Mbah Bandiyem kala itu.
Pertemuan itu sekira 10 menit, Mbah Bandiyem memilih pamit saat ditawari Ganjar makan siang bersama. Lebih memilih melanjutkan rutinitasnya keliling jualan pisang gepok menyusuri lorong-lorong Gubernuran.
Kini sosok bersahaja Mbah Bandiyem tenang dalam peraduan terakhirnya, menyusul wafatnya pasangan sehidup sematinya, sang suami yang hanya berjarak lima hari. Mbah Bandiyem dimakamkan bersanding dengan makam kedua orang tua dan saudaranya di tanah kelahirannya DusunTopeng Desa Kajen Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah. (win)